Jangan Berhenti di Sini


06 Juni 2017, 07.00
Kicauan burung gereja yang teramat riang pagi ini telah sempurna mengusik tidurku. Aku yang baru saja terlelap sekitar tiga jam lalu terpaksa membuka mata dengan diiringi tarikan napas dalam yang sesungguhnya cukup melegakan. Meskipun kepalaku terasa berat akibat kurang tidur setelah percakapan panjang dengan seorang kawan lama kemarin, yang akhirnya membuatku pulang larut, hatiku sudah lega. Percakapan itu membuatku sadar bahwa hadirnya jarak telah menciptakan begitu banyak makna.

Untung saja aku teringat bahwa lunch meeting hari ini dimajukan menjadi breakfast meeting lantaran Atasanku mendadak harus menemui client yang sedang berdinas ke Singapura setelahnya. Dengan ditemani sinar matahari yang masuk melalui sela-sela gorden kamarku, akhirnya aku bergegas meninggalkan kasur untuk bersiap.

06 Juni 2017, 09.30
"Sudah siap pesan, Kak?" tanya seorang waiter kepadaku.
"Pesan satu pappermint tea, ya. Gulanya dipisah aja, Mas," jawabku, si penikmat teh.
"Baik, Kak. Kalau Bapak pesan apa?" waiter itu bertanya kepada lelaki yang duduk di sebelahku yang sejak ia tiba di restoran ini langsung sibuk dengan laptopnya.
"Pesan juga satu long black coffee, ya, Mas," akhirnya aku memesankan minuman untuknya --minuman yang dulu selalu kuracik sendiri setiap pagi. 
"Baik, Kak. Mohon tunggu selagi kami siapkan pesanannya," jawab waiter itu dengan sumringah seperti tak sabar untuk berlalu meninggalkan kami dan menyiapkan pesanan yang telah ia catat dengan rapi.
"Terima kasih," ucapku seraya tersenyum ke arahnya.
Tak disangka, lima menit setelah minuman kami datang, 'client penting' yang kami tunggu pun tiba.

"Kamu langsung ke kantor saja, tidak usah antar saya ke bandara."
"Baik, Pak. Hati-hati dalam perjalanan. Semoga urusan di Singapura berjalan lancar," ucapku sebelum mobil yang Atasanku tumpangi melesat ke keramaian jalanan ibu kota --yang hiruknya menyimpan kenangan buruk bagiku.

06 Juni 2016, 15.00
Hai, dear. Kamu udah makan siang?
Hai... udah, beb.
Gimana presentasimu hari ini, lancar?
It went incredibly well. Everyone was impressed. 
Semoga minggu depan aku dapat kabar baik.
Good for you, beb. I never doubted you.
Thanks a lot, dear. 
Hari ini kamu pulang jam berapa?
 Aku lembur untuk siapin materi presentasi besok.
Mungkin bisa sampai jam 9 malam.
Aku jemput kamu, ya.
Nggak usah, beb. Lebih baik kamu pulang supaya bisa istirahat.
Aku bantu packing untuk kamu ke Singapura sesampainya di rumah, ya.
Jangan pulang lebih malam dari itu, ya. 
Kabari aku setiap jam. 
Roger, beb :)
Hope you come home soon, dear. See you.
See you soon.

06 Juni 2017, 20.15
Sungguh tidak mudah untuk tetap tenang dan fokus di tengah kondisi pekerjaan yang tidak ada habisnya. Pekerjaan demi pekerjaan seakan terus menggunung, namun energi rasanya sudah habis dan pikiran sudah lelah; apa daya deadline tidak bisa diabaikan begitu saja.

Ditemani langit kelam dan derasnya hujan malam ini, pikiranku terbesit mengingat obrolan dengan Ayah pekan lalu di kediamannya.
"Malam ini turun hujan, Kak. Deras sekali, ya. Sepertinya sudah lama langit malam tidak semuram ini. Ayah jadi rindu ibumu," celetuk Ayah.
Aku yang juga sedang merindukan ibu, teman ceritaku sejak kecil, ikut terbawa emosi yang Ayah bangun.
"Aku juga, Yah. Ibu sedang apa, ya?" ucapku.
Ayah menggeleng, kemudian mengucap kata-kata yang tak kusangka, "Ayah ingin menjemput ibumu, Kak, di sebuah taman penuh bunga, yang mungkin ada kolam air mancur, gapura-gapura artistik, atau hiasan-hiasan apapun yang memenuhinya, sebab dengan kehadiran ibumu saja sudah cukup mengindahkan segalanya."

Sejak itu aku percaya, pada saat yang bersamaan, ketika Tuhan memberikan kenyataan hidup yang tidak bisa kita pilih, Dia memberikan hati yang begitu luas untuk kita menerima.

~
Hai, dear. Aku menyesal tidak mengiyakan tawaranmu siang itu, seadainya aku tahu malam itu adalah pertemuan terakhir kita.

Comments