Tengara Semesta
Aku berjalan di antara ilalang untuk merasakan tangkai halusnya. Hamparan begitu luas seperti tiada batas, seakan hanya ada aku dengan langit senja sebagai atapnya. Semilir angin yang berembus melewati bentangan tanganku serta merta memejami mataku dengan perlahan. Raga yang terlalu kering akan damai ini tiba-tiba terbius oleh sejuknya. Wajahku pun enggan pilu, bahkan ketika aku tengah menutup diri dari derai air mata yang sudah tak sanggup lagi kubendung. Semesta, aku tahu, kau tengah memberi tengara.
Senja yang masih tergambar jelas meski mataku terpejam ini memang tiada habisnya. Mengingatkanku pada sebuah emosi yang kupikir sudah lenyap, hancur bersama pahitnya asa untuk berlabuh. Kulakukan segala cara untuk membuatnya tiada lagi, agar luka yang tak kunjung pulih itu berangsur-angsung membaik. Namun siapa sangka, tekadku untuk merengkuhmu ternyata memulihkannya. Ia tidak lenyap atau pun hancur. Ia hanya berlindung sembari menanti sempurnanya waktu untuk kembali dan melangkah dengan lebih arif. Iya, ia memang tiada habisnya, sama seperti senja.
Angin kini mengangkatku, membaringkanku di atas awan seperti hendak membuatku tidur nyenyak. Benar saja, aku langsung pulas. Tak ingin terbangun aku dibuatnya. Begitu tenteram sampai mimpiku terasa nyata.
Di dalam mimpi, kamu hadir membuat sesak. Parasmu bagai kirana
yang meski menyilap mata, namun telah membuatku jatuh hati. "Ini bukan
mimpi, kan?" ucapku mengigau. Datangnya aku kepadamu kala itu bukan untuk bersembunyi, bukan pula untuk
melarikan diri dari masa lalu. Nirmalalah yang menyeruku. Diajaknya aku melanglang
buana hingga akhirnya pandanganku tak lepas darimu. Andai dapat dijadikan potret, aku mau menyimpannya selamanya agar dapat kukenang tanpa batas.
Rupanya lelapku semakin dalam. Aku bahkan tidak sempat membuatmu tahu apa yang kumimpikan. Aku terbopong oleh angan-angan untuk bersamamu. Hingga tenteramku adalah untuk selamanya.
Comments
Post a Comment